Live In 1 (Aulia Salsabella)

Kami sampai di desa Tanjungsari sekitar pukul setengah 10—ketika matahari sedang terik-teriknya. Merasa bersemangat karena kami akhirnya bisa berhenti duduk setelah perjalanan yang cukup panjang, kami pun mengeluarkan barang-barang kami dan berjalan ke rumah Pak Joy, Kepala Dusun Tanjungsari. Di sana kami disambut oleh Bapak Joy beserta keluarganya, yang kebetulan lagi ngaso di teras depan. Pak Joy dan beberapa dari kami pun berkumpul untuk membicarakan satu dua hal mengenai teknis kunjungan kami kali ini.

Ketika kita berkunjung ke suatu desa pesisir, apa sih yang lebih sering kita jumpai selain pohon kelapa? Hehehe.

Selagi yang lain berdiskusi dengan Pak Joy, aku dan sisanya ikut ngaso dengan istri Pak Joy, adiknya, beserta anak-anaknnya sambil minum air kelapa. Kelapanya pun diambil langsung dari halaman rumah Pak Joy. Selain kelapa yang memang sudah dipetik ibu Joy sebelumnya, kami juga mencoba memanjat salah satu pohon kelapa untuk memetik beberapa. Kemudian 2-3 kelapa yang berhasil diambil kami coba kupas dengan arit yang Bu Joy punya. Melihat Bu Joy yang mengupas kelapa dengan mudah, kami merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama. Meskipun tidak selancar Bu Joy, kami berhasil mengupas 2 kelapa muda yang bentuknya acak-acakan.

Kami sempat beristirahat sejenak setelah itu, tidur siang ditemani angin sepoi-sepoi pesisir. Sore hari setelah energi kami telah di-recharge kembali, kami melakukan tugas utama kami di sini: Social Mapping dengan datang ke salah satu tempat penduduk dusun Tanjungsari sering berkumpul, yaitu Tempat Pelelangan Ikan Tanjungsari.

Di sana para penduduk sedang mengadakan turnamen voli, maka otomatis suasana terasa ramai dan orang-orang bersemangat. “Yak bleketek menampis bola…. kemudian dibalas dengan smash dari Asep…!” terdengar lewat speaker suara komentator yang tak kalah semangatnya dengan para pemain, membuat suasana TPI semakin hidup dengan tawa penonton yang pecah.

Pada Social Mapping kali ini, kami memiliki beberapa capaian yaitu sebagai langkah awal, kami harus mengetahui di mana-mana sajakah titik temu warga dusun Tanjungsari dan siapakah figure yang menjadi kunci penggerak masyarakat. Tentu kami juga harus lebih mengenal warga Tanjungsari, seperti mata pencaharian utama apa yang mereka geluti, bagaimana mereka menghabiskan sebagian besar waktunya, dan yang paling penting kondisi dusun itu sendiri. Semua ini harus dilakukan secara implisit, kami harus menunjukkan bahwa kami tidak sedang mewawancarai mereka, melainkan sedang mengobrol santai sambil sesekali mencatat poin-poin penting yang kami dapatkan dalam otak kami

 

Soal mata pencaharian, sebagian besar warga Tanjungsari adalah petani, baik petani padi, singkong, maupun kelapa. Kadar intrusi pesisir Tanjungsari relatif kecil, memungkinkan warga untuk bertani tanpa adanya gangguan garam dari air laut. Saat kami berkunjung ke sana, musim kemarau yang terjadi membuat kegiatan bertani ini terhenti. Alhasil sawah-sawah terlihat kering dan warga harus melakukan kegiatan lain untuk tetap mencari penghasilan. Salah satu di antaranya adalah dengan melaut. Meskipun nelayan bukan mata pencaharian mereka, di saat musim-musim panceklik seperti ini mereka pergi ke laut lepas untuk mencari lobster. Konon katanya lobster dari Tanjungsari adalah salah satu dari yang terbaik, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan kita saat ini, Ibu Susi Pudjiastuti, sebelum menjabat sebagai menteri seringkali datang ke dusun Tanjungsari untuk menjual lobster hasil tangkapan warga.

Saat berjalan menyusuri pantai, kami bertemu dengan 3 orang nelayan yang sedang duduk di dekat kapalnya. Penasaran, kami pun mendatangi ketiga bapak ini dan mulai mengobrol.

Setelah bertanya, ternyata mereka telah menunggu di tempat tersebut selama kurang lebih 3-4 jam, menunggu gelombang air laut lebih tenang. Salah seorang bapak mengaku bahwa beliau bukan seorang nelayan tetap, melainkan seorang petani yang mencari penghasilan lebih. Selain melaut, pada musim kemarau seperti ini warga terpaksa harus berdiam tanpa kegiatan apapun, ngaso di rumah sambil mungkin berkeliling berjualan gorengan.

Adapun di sisi pantai lainnya, ada beberapa pemancing yang sabar menunggu pancingannya diganggu oleh ikan yang tertangkap. Bukan cacing, melainkan suatu hewan bernama “buyutuk”-lah yang menjadi umpan andalan pemancing Tanjungsari. Buyutuk adalah nama khusus untuk seekor kepiting pasir pasifik Emerita analoga di daerah Cianjur Selatan. Anak-anak di sini senang berburu buyutuk, entah untuk dijadikan umpan pancing atau dimakan. Namun begitu hanya buyutuk muda bercangkang lunaklah yang dapat dijadikan umpan atau dimakan.

Di penghujung kunjungan kami ke Dusun Tanjungsari, kami berhasil mendapatkan beberapa informasi sebagai bekal kunjungan-kunjungan kami selanjutnya seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Kira-kira apa yang menjadi tujuan besar kami di Dusun Tanjungsari? Tunggu cerita kami selanjutnya!

This slideshow requires JavaScript.

Leave a comment